Kecerobohan Seorang Panglima Perang
Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Usamah bin Zaid Kecerobohan Seorang Panglima Perang
Dikisahkan oleh Suden Basayev
Mirdas bin Nuhaik tertawa penuh kepuasan. Pedang terhunusnya masih berlumuran darah bahkan cacahan daging musuh yang berhasil ia bunuh. Sudah beberapa nyawa pasukan muslim berhasil dia habisi.
Kembali Mirdas bergerak. Tebasan pedangnya kian menggila. Kembali nyawa-nyawa melayang dibabat tajamnya pedang yang ia sabetkan.
"Mirdas bin Nuhaik!" suara seseorang di antara kecamuk perang.
Mirdas menoleh. Berdiri dengan pedang terhunus juga, seorang panglima perang muslim yang masih muda tapi sangat disayang Rasulullah.
"Anak sahayanya Muhammad rupanya?!" Mirdas menyeringai. Ia sudah banyak mendengar keahlian bertempur panglima perang di hadapannya itu. Baru kali ini berkesempatan mencobanya.
"Sudah banyak nyawa para sahabat melayang di tanganmu. Kini tiba saatnya aku yang menghabisi nyawamu, wahai Mirdas."
Mirdas tertawa keras. "Usiamu masih muda, tidakkah sayang jika hari ini kau berhadapan denganku, wahai Usamah bin Zaid?"
"Apa yang aku takutkan padamu? Ayo, majulah, jemput kematianmu!" sentak panglima perang muslim yang memang adalah Usamah putra Zaid bin Haritsah.
"Sombong kau, anak muda! Mari kita lihat, siapa yang lebih pandai bermain pedang!"
Mirdas berseru keras sambil maju menyerang. Usamah menyambutnya. Pedang beradu di udara menimbulkan percikan bunga api. Pertempuran seru berlangsung. Tampaknya, masing-masing memiliki keahlian bermain pedang dengan baik, hingga pertarungan berlangsung cukup lama.
Mirdas bin Nuhaik semakin penasaran. Serangannya dengan mudah dimentahkan Usamah. Dia makin membabi buta. Tapi justru itulah gerakannya menjadi tidak terkendali. Tak berapa lama, Usamah terlihat di atas angin.
Serangan Usamah gencar sekali. Beberapa sabetan pedang panglima perang muslim itu berhasil melukai lengan Mirdas. Mirdas terdesak. Benar-benar terdesak.
Usamah terus memburu Mirdas tanpa ampun. Keadaan Mirdas benar-benar terjepit. Pedangnya terlempar, tak sanggup menahan sabetan pedang lawan.
Tapi Usamah dibuat terkejut, saat hampir ia tusukkan pedang ke tubuh Mirdas, mendadak lelaki itu berseru mengucapkan kalimat syahadat. "Asyhadu alla illaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullaah!"
Usamah menahan tusukan pedangnya. Sementara Mirdas sudah benar-benar tidak berdaya.
"Mirdas, dalam keadaan seperti ini, engkau berlindung dengan pura-pura beriman? Aku bukan panglima perang bodoh yang mudah kauperdaya!" Usamah meragukan keimanan Mirdas.
Tak ayal lagi, pedang Usamah berkelebat. Mirdas menjerit keras saat pedang panglima muslim itu menembus lambungnya. Darah mengucur deras. Berakhirlah sudah perjalanan hidup Mirdas di tangan Usamah.
Kabar terbunuhnya Mirdas sampai ke Rasulullah Saw. Termasuk syahadatnya sebelum mati.
"Usamah, begitukah perlakuanmu kepada seorang yang telah bersyahadat?" bentak Rasulullah Saw. Kentara sekali kemarahan beliau.
Usamah mencoba membela diri. "Tapi, ya Rasul, dia hanya berpura-pura agar tidak dibunuh!"
"Usamah, mengapa tidak sekalian engkau belah saja dadanya, sehingga kau bisa melihat apakah hatinya bersyahadat atau tidak?!"
Usamah sama sekali tidak berani melihat wajah merah Rasulullah yang sedang marah itu. Sungguh, seumur hidup baru kali ini Usamah menjumpainya.
"Ya Rasulullah. Kalau demikian adanya, ampunilah saya. Saya mohon mintakan ampunan kepada Allah atas kecerobohan saya...."
Usamah bertaubat. Rasulullah tetap memutuskan dia bersalah. Tapi tidak berlaku hukum qishas (nyawa dibayar nyawa), karena Usamah membunuh dalam situasi perang. Dibantu Rasulullah Saw, Usamah mengumpulkan harta berupa 100 ekor unta untuk membayar diyat kepada keluarga Mirdas. Sungguh, begitu besar nilai nyawa seorang yang sudah berikrar syahadat di mata Rasulullah Saw.
Get notifications from this blog
MasyaAllah
BalasHapus