Sebait Cinta di Glagahwangi
Kugebrak kudaku melewati jalan sukar di hutan Wanarimbun. Aku harus ke Glagahwangi melewati jalan yang jarang dilalui manusia. Sepengetahuanku, Prabu Girindrawardhana semakin gencar melakukan penyisiran ke setiap penjuru, menghabisi segenap sisa-sisa kekuatan Wilwatikta. Bisa-bisa aku bernasib celaka jika tertangkap para prajuritnya dan tidak ada lagi kesempatan menjumpai Ratri.
Gapura masuk Glagahwangi penuh ketat para penjaga. Mereka mengenakan jubah-jubah lebar seperti umumnya orang-orang Islam di pesisir utara. Sial. Apa aku harus masuk dengan ijin mereka ataukah sebaiknya masuk dengan caraku sendiri? Sebaiknya kupakai cara kedua, enggan rasanya berbaik-baik dengan mereka. Jelas mereka berbeda keyakinan denganku. Kalau saja bukan untuk mencari Ratri, tidak sudi aku masuk perkampungan bekas hutan belantara ini.
Aku memilih menunggu matahari terbenam. Dengan bantuan gelapnya malam, pasti lebih nyaman untuk menyusup ke Glagahwangi. Mudah saja bagiku sebagai seorang putra Tumenggung Arya Sana yang terlatih segala ilmu kanuragan, untuk sekadar masuk ke perkampungan para santri ini. Ratri... kuharap aku menemukannya di sini. Aku yakin dia selamat. Sang Hyang Widiwasa pasti melindunginya. Aku yakin pasti dia bisa melarikan diri saat pasukan Prabu Girindrawardhana itu berhasil memukul hancur pertahanan Wilwatikta. Sejarah berdarah yang tidak akan terlupakan di masa depan.
Di tengah perkampungan kulihat ada bangunan besar berkubah. Itu pasti tempat orang-orang Glagahwangi beribadah. Tidak jauh darinya ada bangunan-bangunan besar yang lain. Kemana aku harus mencari Ratri?
Saat aku kebingungan sendiri itulah, mataku menangkap sosok yang sangat kurindukan itu. Ratri sedang berjalan bersama beberapa perempuan bangsawan Wilwatikta. Mereka memasuki salah satu bangunan besar di tengah perkampungan yang memang terlihat maju ini. Segera aku melompat dari pohon tempatku bersembunyi. Ratri, aku akan menemuimu....
Sebuah bilik kecil. Di sinikah kamar Ratri? Pasti sangat jauh berbeda dengan kamar indah yang dia tinggalkan di pusat kota raja Wilwatikta. Kasihan Ratri. Ingin rasanya aku membawanya pergi ke tempat yang indah dan pantas. Tidak di sini, di antara orang-orang asing, yang bahkan tidak mengakui Shiwa sebagai sesembahannya.
"Ratri...," kupanggil namanya, setengah berbisik saja.
Kulihat keterkejutan gadis cantik itu. Lekas mendekatiku dengan tatap tidak percaya. "Kakang Birawa? Benarkah kau yang datang? Bagaimana kau bisa kemari?"
"Sttt!" kutempelkan telunjuk ke hidungku, "pelan saja suaramu, aku takut ada yang mendengar."
Sebenarnya ingin sekali kupeluk gadis itu. Rasa rindu bercampur kebahagiaan karena melihatnya selamat. Tapi tidak, ia pasti akan malu. Dan tentu saja itu bukan kelakuan yang pantas. Ratri juga perempuan terhormat, aku tidak mungkin asal memeluknya, meski pun aku ingin.
"Ratri, syukurlah kau selamat. Dalam waktu dekat, aku akan mencarikan tempat aman untuk membawamu pergi," kataku.
"Di sini aman, Kakang. Orang-orang Glagahwangi sangat baik."
"Tapi mereka tidak sekeyakinan dengan kita. Aku takut kau akan dipaksa berpindah memeluk ajaran yang mereka yakini, Ratri."
Ratri menggeleng. "Tidak, Kakang. Mereka tidak seburuk yang Kakang pikirkan."
"Kau pasti sudah terkena hasutan mereka, Ratri."
"Kakang berkata demikian karena belum pernah bertemu mereka. Belum pernah hidup di tengah-tengah mereka."
Aku tidak ingin berdebat. "Sudahlah, sekarang yang penting kau selamat. Itu yang terpenting."
"Kakang Birawa, sebaiknya Kakang jangan pergi. Tinggallah di Glagahwangi. Aku akan memohonkan pada Gusti Senopati Jimbun, agar berkenan memberi perlindungan padamu, Kakang."
"Tidak, Ratri. Aku tidak akan berlindung pada orang Islam. Sangat memalukan."
"Tidak ada yang perlu dimalukan, Kakang. Gusti Senopati Jimbun bukan orang lain. Beliau berdarah Wilwatikta seperti kita."
"Sudah, Ratri. Aku akan pergi dulu."
"Kemana, Kakang?"
"Yang penting bukan di Glagahwangi."
Ratri tidak bertanya lagi. Aku memandangnya. "Sebelum pergi, aku... aku ingin berterus terang padamu, Ratri."
"Tentang apa, Kakang?"
"Tentang..."
Sial. Terulang lagi. Lidahku serasa kelu. Setiap kali aku akan mengungkapkan perasaan ini kepada Ratri, selalu saja tidak ada daya. Sial! Lebih mudah bagiku bertarung dengan para prajurit Prabu Girindrawardhana dari pada berada pada situasi sulit di depan Ratri seperti ini.
"Lain waktu saja, Ratri. Aku... aku pergi dulu."
Lekas kutinggalkan Ratri yang masih bingung dengan sikapku. Sudahlah. Yang penting dia selamat dulu. Soal hati ini... Ah, biarlah. Suatu saat nanti aku akan menyatakannya. Sesuatu yang sangat sulit kukatakan. Cinta.
2/10/2017 00:15
Get notifications from this blog
Suka...keren...
BalasHapusOrang kedua di odop setelah kang heru yang menulis dengan genre historical..
Belajar dong...
Suka...keren...
BalasHapusOrang kedua di odop setelah kang heru yang menulis dengan genre historical..
Belajar dong...
Duh..gampang banget sih bikin cerpen. Wapik..
BalasHapusMas Wakhid,aku suka banget sama gaya bahasa yg mas Wakhid pake. Rasanya adem. :'D
BalasHapusceritanya asyik Kakang (y)
BalasHapusalangkah baiknya Kakang Wakhid menuliskan satu kata diakhir cerita, "bersambung..."
Gaya bahasanya sip
BalasHapusMembaca tulisan mas Wakhid mengingatkanku pada sosok almarhum Bapak yang juga suka menulis roman sejarah :)
BalasHapusTulisan sampeyan memang josss
Jian top markotop, Gus Wakhid.
BalasHapusKerennnn sekaliiiiiii
BalasHapus