Gubuk Kecil di Pinggir Kota
Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Abu Bakar As Shidiq Gubuk Kecil di Pinggir Kota
Dikisahkan oleh Suden Basayev
Umar bin Khattab ra. selalu merasa kalah pada Abu Bakar As Shidiq dalam hal amal ibadah maupun bersedekah. Maka Umar selalu berusaha melakukan dua kali lipatnya agar kelak bisa mendahului Abu Bakar ke tingkat surga tertinggi.
Umar sedang dilanda rasa penasaran akan kebiasaan Abu Bakar yang setiap selesai shalat Subuh selalu pergi ke pinggiran kota Madinah. Suatu kali, berbekal rasa penasaran itu, Umar mencoba membuntuti kepergian sahabat yang mulia itu.
Abu Bakar As Shidiq sama sekali tidak menyadari bahwa Umar mengikutinya. Ia berjalan seperti biasanya. Tanpa beban, penuh kemantapan. Sampailah ia di tempat tujuannya setiap fajar itu.
Sebuah gubuk kecil. Umar mengintai dari jarak yang cukup aman. Abu Bakar masuk ke dalam gubuk itu. Cukup lama. Umar bertahan di tempat pengintaiannya, sampai akhirnya Abu Bakar keluar dan meninggalkan gubuk kecil itu.
Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab kian penasaran dengan isi gubuk kecil di pinggiran kota itu. Segera ia melangkah menuju tempat yang baru saja ditinggalkan Abu Bakar As Shidiq.
Pintu gubuk tidak terkunci, daunnya sedikit terbuka. Umar menyentuhnya. Sebelum sempat mengucap salam, terdengar suara dari dalam, "Siapakah berdiri di depan pintu gubukku?"
"Oh... Assalamualaikum... maafkan saya," kata Umar segera.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.... Masuklah kalau ada keperluan."
Umar masuk. Ia tertegun menjumpai pemilik gubuk adalah seorang nenek tua yang lemah tertidur di atas balai-balai. Dari tatapan kosong bola mata si nenek, Umar tahu kalau nenek ini buta. Di dekatnya ada meja yang atasnya tersaji makanan.
"Ada apakah kiranya mengunjungiku?"
"Maaf, Nek. Saya hanya mau bertanya soal orang yang baru saja keluar dari gubuk ini tadi...."
"Oh... lelaki itu? Demi Allah, aku tidak mengenalnya."
"Bukankah dia setiap pagi datang kemari, Nek?" tanya Umar.
Nenek itu mengangguk. "Tiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini. Menyapunya. Lalu dia menyiapkan makanan di mejaku ini untukku. Setelah itu ia akan pergi tanpa bicara sepatah kata pun padaku."
"Begitukah, Nek...? Bahkan Nenek tidak tahu siapa namanya?"
"Dia tidak pernah menyebut-nyebut nama. Bahkan bicara pun tidak. Dia hanya melakukan pekerjaan itu tiap pagi untukku. Sungguh, Allah Ta'ala saja yang mampu mengukur ketinggian imannya."
Umar menarik napas dalam. Sekali lagi, Abu Bakar As Shidiq telah berlari di depannya dalam beramal kebaikan. Umar menjadikannya pecut untuk kembali berusaha mengejar. Sungguh melelahkan, sekadar ingin menyamai kebaikan sahabat pilihan itu....
Get notifications from this blog
Sebuah ibrah yang ditulis dengan bahasa ringan namun bisa mengingatkan untuk mencintai sahabat-sahabat Nabi
BalasHapusselalu menyentuh dan penuh hikmah, terima kasih...
BalasHapus